POSTINGAN UNGGULAN

Filosofi Ketupat dan Lepet Ciptaan Walisanga sebagai Sarana Dakwah


Filosofi ketupat

Filosofi ketupat
- Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkan kepada masyarakat Jawa tentang filosofi ketupat. Sunan Kalijaga membudidayakan 2 kali bakda, yaitu bakda Lebaran dan bakda kupatan, yang dimulai seminggu setelah lebaran.

Arti dari kata ketupat
Dalam filsafat Jawa, ketupat memiliki arti khusus. Ketupat atau kupat adalah kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan. Sedangkan laku papat berarti empat tindakan.

Ngaku lepat (mengaku salah)
Tradisi sungkeman menjadi implementasi adaptasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang Jawa. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, rendah hati, memohon ketulusan dan pengampunan dari orang lain.

Laku papat (perilaku empat)
Perilaku empat dalam tradisi kupatan, yaitu: 1). Lebaran (sudah berakhir, menunjukkan akhir dari waktu puasa), 2). Luberan (meluber atau melimpah, ajakakan untuk beramal kepada orang miskin dalam kewajiban membayar zakat fitrah), 3). Leburan (sudah melebur) Dosa dan kesalahan akan mencair karena setiap Muslim dituntut untuk saling memaafkan, 4). Laburan (berasal dari kata labur, dengan kapur yang biasa digunakan untuk pemurnian air dan pemutihan dinding, yang berarti bahwa orang selalu menjaga kesucian lahir dan batin mereka).

Asal muasal kata janur
Janur, diambil dari bahasa Arab "Ja'a Nur" (telah dating cahaya). Adapaun bentuk fisik ketupat itu seperti hati manusia. Ketika orang telah mengakui kesalahannya, maka hatinya seperti ketupat yang dibelah, pasti memiliki isi putih bersih, hati yang tanpa ada unsur iri dan dengki hati. Mengapa? Karena hatinya terbungkus cahaya (Ja'a Nur).

Asal muasal kata lepet
Lepet = silep kang rapet. Mari kita kubur / tutup rapat. Jadi setelah mengaku lepat, minta maaf, menutup kesalahan yang sudah diampuni, jangan diulangi lagi, agar persaudaraan lebih kencang seperti lengketnya ketan didalam lepet.

Dari sini, kita semakin menyadari betapa hebatnya peran walisanga dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat awam di Jawa pada waktu itu yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini adalah cara dakwah yang mengundang, tanpa harus menginjak pemahaman atau kebodohan masyarakat.

Comments