POSTINGAN UNGGULAN

KHAWARIJ (SEKTE-SEKTE DAN AJARANNYA)

Khawarij

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kita sudah tahu apa yang terjadi ketika peperangan Shiffin antara Sayidina Ali dengan Sayidina Muawiyah ra. Pihak Sayidina Muawiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan perhentian peperangan dengan bertahkim.Akibat itu golongan Ali terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju dengan tahkim beralasan bahwa orang yang mau berdamai pada ketika pertempuran adalah orang yang ragu akan pendiriannya, dalam kebenaran peperangan yang ditegakkannya. Hukum Allah sudah nyata kata mereka, siapa yang melawan khalifah yang sah harus diperangi.Kaum inilah yang dinamakan kaum Khawarij yaitu kaum yang keluar yakni keluar dari Sayidina Muawiyah dan keluar dari Sayidina Ali.
Setiap orang Islam harus mengetahui macam dan bentuk paham Khawarij, agar kita bisa mengambil pelajaran penting yang bisa diambil dari paham tersebut. Memang golongan ini sudah hilang dibawa arus sejarah, tetapi pahamnya masih berkeliaran dimana-mana.

B.     Fokus Pembahasan
1.      Sejarah Munculnya Aliran Khawarij.
2.      Perjanjian Tahkim Sayidina Ali Bin Abi Talib RA dengan Muawiyah
3.      Sekte-sekte Aliran Khawarij dan Ajarannya.
4.      Perkembangan Aliran Khawarij.

  
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Munculnya Aliran Khawarij.
Secara etimologis kata khawri’j berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berdasarkan pengertian etimologi khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat islam. Kelompok ini bisa disebut khawarij atau kharijiyah.
Sedangkan yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Siffin pada tahun 37 H/ 648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sofyan perihal persengketaan khilafah.[1]
Nama khawarij diberikan pada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa pemberian ayat itu berdasarkan ayat 100 dari surat an-nisa’, yang didalamnya disebutkan: “keluar dari rumah dan lari kepada Allah dan rasul-Nya”. Dengan demikian kaum khawarij memangdang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah da Rasulnya.[2]
Ali bin Abi tholib(w. 661 M) diangkat menjadi khalifah setelah amirul mu’minin ustman bin afan dibunuh oleh kaum pemberontak. Untuk mengembalikan stabilitas keamanan, Ali bin Abi tholib melakukan berbagai langkah perbaikan, diantaranya merombak para pejabat dengan mengangkat gubernur baru dan memberhentikan gubernur lama. Diantara gubernur yang diberhentikan ali bin abi tholib adalah mu’awiyah bin abi sufyan. Mu’awiyah menolak untuk diberhentikan, sebelum para pemberontak yang terlibat dalam pembunuhan atas diri ustman bin afan diutus, diadili dan dijatuhi hukuman yang pantas. Sementara amirul mu’minin ali bin abi tholib berpendapat, tanpa adanya stabilitas keamanan dan politik, adalah mustahil mengusut, mengadili dan menjatuhkan sangsi kepada para pemberontak.[3]
Perselisihan sahabat Ali bin abi tholib dengan mu’awiyah bin abi sufyan memuncak dengan terjadinya perang sifhin dan perundingan (at-tahkim) di Daumatul jandal, antara pasukan ali bin abi tholib selaku amirul mu’minin dan pasukan muawiyah bin abi sufyan selaku mantan gubernur syam. Pertempuran antara dua pasukan besar kaum muslimin initerjadi akibat perbedaan ijtihad antara pemimpin mereka. Pertempuran ini terjadi di daerah siffhin yang berlangsung selama beberapa hari dan mengakibatkan jatuhnya ribuan pasukan muslimin dari kedua belah pihak yang terbunuh dan luka-luka. Namun akhirnya pertempuran ini berahir dengan damai.
Dari perundingan damai itu, sebagian pengikut Ali keluar dari barisan ali karena ali dianggap telah bersikap salah karena tidak bertindak tegas pada pemberontak seperti mu’awiyah. Kebencian mereka tidak hanya tertuju kepada ali saja namun mereka juga sangat membenci mu’awiyah karena telah memberontak kepada khalifah yang syah. Mereka menganggap ali dan mu’awiyah telah  kafir, karena mencari pemecahan masalah kepada manusia ( yaitu abu musa al-as’ari dan amru bin asy). Padahal mereka menganggap segalah permasalahan harus diserahkan kepada allah semata.[4]
Golongan mereka inilah yang kemudia dalam sejarah disebut dengan aliran khawarij. Munculnya golongan al Khawarij menyebabkan tentara Ali semakin lemah , sementara posisi Muwiyah semakin kuat. [5]
Pada saat mereka keluar  dari barisan Ali mereka langsung meluncur ke daerah harurah itulah sebabnya mereka disebut juga dengan nama haruriyah.[6]
Kadang-kadang mereka disebut dengan syurah dan al- mariqah. Mereka sampai di harura dengan dibawah arahan abdullah Al-kaiwa. Disinilah mereka melanjutkan beberapa perlawanannya kepada kelompok Ali dan Mu’awiyah, mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama abdullah bin sahab Ar-Rasyibi.
Setelah Ali meninggal dunia kegiatan aliran ini semakin merajalela, mereka selalu melibatkan diri diberbagai fitnah, terutama pada masa kekhalifahan mu’awiyah.[7]
Akan tetapi mereka tidak berani memuculkan diri kepermukaan karena mereka sadar tidak akan bisa bertempur dengan tentara mu’awiyah yang sudah terlatih dan mahir menunggang kuda.
Khawarij memandang semua pelaku dosa besar akan kekal di neraka. Semua yang terlibat dalam arbitase adalah pelaku dosa besar. Bahkaan mereka menganggap semua orang yang berbeda dengan mereka adalah kafir, termasuk golongan mereka sendiri yang tidak mau hijrah ke daerah yang sedag mereka duduki.
Pandangan yang berbeda dikemukakan subsekte an-najdat. Mereka menganggap orang yang berdosa besar dan kekal di neraka hanyalah orang-orang yang tidak bergabung dengan aliran ini, tetapi bagi anggota mereka sendiri tidak akan kekal di neraka jika melakukan dosa besar, pada akhirnya pelaku dosa besar akan masuk surga. Subsekte as-sufuriah membagi dosa besar menjadi dua yaitu golongan dosa besar yang ada sangsinya didunia seperti membunuh tanpa alasan, berzina, dan dosa besar yang tidak ada sangsinya di dunia seperti meninggalkan sholat, tidak puasa. Sub-sekte ini menganggap jika seorang melakukan dosa besar kategori yang pertama maka tidak ada hukum kafir bagi mereka tapi jika ada orang yang melakukan dosa besar kategori yang kedua maka mereka adalah orang-orang kafir
                                                                    
B. Perjanjian Tahkim Sayidina Ali Bin Abi Talib RA dengan Muawiyah
Perjanjian ini adalah diantara Sayidina Ali Bin Abi Talib RA dengan Muawiyah (Munafik Di Zaman Khulafah Al-Rasyidin) untuk kedua-duanya meletakkan jawatan sebagai Amirul Mukminin. Sayidina Ali RA diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari. Sayidina Ali RA asalnya mengusulkan Abdullah Bin Abbas, tetapi kelompok pengikutnya secara majoriti memilih Abu Musa Al-Asy'ari, maka demi mengelakkan fitnah, Sayidina Ali RA bersetuju. Muawiyah pula diwakili oleh Amru Bin Aash.
Sebelum Perjanjian diumumkan, Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru Bin Aash telah berbincang dengan panjang lebar dan persetujuan perjanjian dicapai dimana Sayidina Ali RA dan Muawiyah tidak akan menjadi Amirul Mukminin. Persetujuan perjanjian juga bersetuju bahawa Abu Musa Al-Asy'ari akan mengumumkan dulu tentang perletakkan jawatan Sayidina Ali RA sebagai Amirul Mukminin.
Abu Musa Al-Asy'ari kemudiannya mengumumkan perletakkan jawatan Sayidina Ali RA sebagai Amirul Mukminin. Kemudian disusuli Amru Bin Aash yang mengumumkan:- "Sesungguhnya Abu Musa memecat temannya sebagaimana kamu lihat dan aku menetapkan Muawiyah sebagai Amirul Mukminin dan penuntut atas kematian Uthman, maka bai'atlah dia". Dari sejarah ringkas Perjanjian Tahkim ini, dengan jelas dapat kita lihat peranan Amru Bin Aash seorang Islam yang munafik.[8]


  1. Sekte-sekte Aliran Khawarij dan Ajarannya.

Khawarij terpecah menjadi beberapa firqoh, dimana antara firqoh satu dan lainya tidak ada suatu kesatuan. Perpecahan membuat khawarij menjadi dan mudah sekali dipatahkan dalam berbagai pertempuran menghadapi kekuatan militer bani umayyah yang berlangsung bertahun-tahun sehingga aliran ini hanya tinggal dalam catatan searah. Firqoh-firqoh tersebut antara lain:
1.    Al-muhakimah
Golongan khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut ali. Mereka menganggap semua orang yang terlibat dalam arbitase adalah kafir. Berbuat zina dan membunuh orang tanpa alasan yang syah adalah keluar dari islam dan kafir.
2.    Al-zariqoh
Golongan khawarij yang dipimpin Nafi ibnu azraq dengan pandanganya yang lebih ekstrim dibandingkan dengan golongan-golongan lainya. Menurut mereka selain mereka dan para pendukungnya seperti abdurohman ibnu muljam (pembunu ali) adalah musyrik, dan kekal selamanya di neraka.
3.    An-nadjad
Bagi goongan ini, keimanan dan keislaman seseorang ditentukan oleh kewajiban mengimani allah dan rasulnya. Orang-orang yang tidak peduli tentang itu dianggap tidak beriman dan tidak dapat diampuni. Hanya golongan ini  yang dianggap berimin.
4.    Al-jaridah
Mereka adalah pengikut dari Abd al-karim ibn ajrad yang menurut al-syahratsani merupakan salah satu teman dari ‘atiah al-hanafi. Mereka lebih lunak dbanding yang lain. Bagi mereka hijrah tidak menjadi kewajiban, tetapi hanya menjadi kebijakan. Orang yang beriman tidak harus tinggal di tempat kekuasaan mereka dan bukan merupakan kafir.


5.     Al-maimunah
Golongan ini berpaham qodariyah. Mereka menganggap semua perbuatan manusia timbul karena inisiatif manusia itu sendiri.
6.    As-sufriyah
Golongan As-sufriyah adalah pengikut dari zaid ibnul asfar. Golongan ini hamper sama dengan Al-azriqah tetapi ada sedikit perbedaan diataranya adalah: anak-anak orang musyrik tidak boleh dibunuh, tidak harus hijrah, dll.
7.    Dan masih banyak yang lainya. Secara garis besar, semua sekte ini membicarakan tentang siapa yang itu pelaku dosa besar. Apakah masih diangap mu’min atau sudah menjadi kufur.

Doktrin-doktrin pokok Khawarij:
1.   Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
2.   Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
3.   Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh jika zalim.
4.  Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, Utsman) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya Utsman ra dianggap telah menyeleweng.
5.   Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
6.   Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan menjadi kafir.
7.   Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
8.   Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
9.    Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (Negara musuh), dan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara islam).
10.   Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng.
11.  Wa’ad dan wa’id (orang baik harus masuk surga, dan yang jahat masuk neraka).
12.   Amar ma’ruf nahyi munkar.
13. Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar)
14.  Quran adalah makhluk.             
15.  Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.

D.            Perkembangan Khawarij
Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum Khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin Azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.
Terlepas dari berapa banyak subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh seperti Al-Bagdadi dan Al-Asfarayani, sepakat bahwa subsekte khawarij yang besar terdiri dari delapan macam, yaitu:
1.         Al-Muhakkimah                5. Al-Ajaridah
2.         Al-Azriqah                        6. As-Saalabiyah
3.         An-Nadjat                         7. Al-Abadiyah
4.         Al-Baihasiyah                   8. As-Sufriyah
Semua subsekte itu membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia masih dianggap mukmin atau telah menjadi kafir. Tampaknya doktrin teologi ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin lain hanya sebagai pelengkap saja.
Semua aliran yang bersifat radikal, pada perkembangan lebih lanjut, dikategorikan sebagai khawarij, selama didalamnya terdapat indikasi doktrin yang identik dengan aliran ini. Berkenaan dengan ini Harun Nasution mengidentifikasi beberapa indikasi aliran yang dapat dikategorikan sebagai aliran khawarij, yaitu:
1.    Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama Islam.
2.    Islam yang benar adalah islam yang mereka pahami dan amalkan.
3.    Orang-orang islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali pada islam yang sebenarnya, yaitu islam yang seperti mereka pahami dan amalkan.
4.    Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri.
5.    Mereka bersifat fanatik dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk tujuan mereka.



BAB III
ANALISIS

Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis mencoba menganalisis tentang aliran khawarij beserta ajaran-ajaran yang dikembangkannya sesuai dengan konteks fenomena yang ada di zaman sekarang ini. Dalam diskursus mengenai terorisme dan Islam yang marak belakangan ini, satu hal yang selalu ada dan menarik diperhatikan adalah analisis keterkaitan ideologis antara para pelaku teror dengan Khawarij. Disebut nama ini, umat Islam akan mengingat kembali peristiwa fitnah besar (al-fitnah al-kubra) yang terjadi antara 656 hingga 661 M. salah satu periode terkelam dalam sejarah Islam. Bukan hanya karena terjadinya pertumpahan darah antar-Muslim tetapi hura-hara politik tersebut melahirkan sebuah sekte, yang dikenal dengan sebutan Khawarij (kaum yang keluar),  Aroma keterkaitan teror suci versi al-Qaidah-nya Usamah bin Ladin dengan ideologi kaum Khawarij pada masa lalu teramat sulit untuk diabaikan karena pandangan-dunia keduanya yang saling berhimpit dalam banyak hal, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Khawarij memunculkan keyakinan bahwa Muslim yang melakukan dosa besar (al-kabir) adalah keluar dari Islam (murtad). Dengan keyakinan ini, mereka telah memulai kebiasaan buruk kafir-mengafirkan di kalangan Muslim yang berujung pada penghalalan darah atas jiwa-jiwa yang diharamkan (penumpahan darahnya) oleh Allah Swt tanpa hak. Banyak dicatat dalam literatur sejarah bagaimana Khawarij mempraktikkan ajarannya ini, semacam penyelidikan atas keyakinan Muslim non-Khawarij. Orang-orang yang tidak lolos dari ajarannya ini lantas dipandang kafir dan halal darah mareka. Penumpahan darah atas orang-orang seperti ini pun banyak terjadi, tak terkecuali terhadap perempuan dan anak-anak karena Khawarij memandang anak-anak kaum kafir adalah terkutuk bersama orangtuanya. Perhatikan bagaimana para terpidana mati Bom Bali I, seperti Imam Samudra dan Ali Ghufron, tidak merasa bersalah telah membunuh ratusan jiwa secara sewenang-wenang. Mereka menganggap para korban tindakan sadis mereka hanya sebagai ekses dari sebuah perjuangan. Besar kemungkinan, mereka meyakini para korban sebagai para pendosa yang darahnya halal ditumpahkan. Keyakinan yang dipopulerkan Khawarij ini sama sekali tidak memiliki preseden di masa Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib dalam khotbah yang ditujukan kepada Khawarij pernah berkata: Anda tahu bahwa Nabi... memotong (tangan) para pencuri dan mencambuki para pezina yang tak terlindung (yang belum menikah), tetapi setelah itu mengizinkan bagian mereka dari rampasan (perang) dan hak mereka untuk menikahi perempuan Muslim. Jadi, Nabi menuntut mereka bertanggung jawab atas dosa mereka tetapi tidak melarang mereka atas hak mereka yang diberikan Islam, tidak pula menyingkirkan nama mereka dari para pengikutnya (tidak memandang mereka murtad dan kafir).
Kedua, akibat dari keyakinan di atas, Khawarij adalah kaum yang anti-dialog. Bagi mereka, beradu argumentasi dengan orang-orang yang telah diyakini kekafirannya adalah sia-sia. Tidak ada hakim kecuali Allah? Apa yang menjadi slogan mereka? benar-benar menjadi alat ampuh untuk menolak potensi kebenaran dari pihak lain. Ali bin Abi Thalib, sahabat terkemuka Nabi, pernah merasakan kekerasan hati tersebut setelah upayanya berkali-kali untuk berdialog dimentahkan Khawarij hingga pecahlah Perang Nahrawan.
Ketiga, Khawarij telah memelopori lahirnya Islam perang sebagai lawan dari perang Islam. Istilah pertama mengacu kepada gerakan Islam yang telah menjadikan perang bukan lagi sebagai metode tetapi sudah menjadi tujuan itu sendiri. Karakter gerakan ini adalah ofensif dan anarkis. Sifat ofensif menjadikannya lebih mirip pasukan penjajah ketimbang kaum pejuang. Mungkin di sinilah, mengapa sebutan teror dan teroris  jauh lebih tepat ketimbang sanjungan pahlawan dan syahid. Sementara itu, anarkisme membuat gerakan ini tak memedulikan norma dan etika berperang, yang Islam tetapkan secara terperinci.
Dari ketiga prestasi tersebut, Khawarij benar-benar pelopor yang melahirkan kekeliruan kalau bukan kebodohan atas nama Islam yang berujung pada kekerasan atas nama Islam.  Yang terakhir tegas-tegas menyebutkan bahwa mereka memerangi Ali atas nama kebanggaan klan dan demi merebut kembali hak-hak istimewa yang mereka nikmati sebelum lahirnya Islam. Persoalannya kemudian, apakah hanya karena kekeliruan, Khawarij berani menentang Ali, satu-satunya figur sahabat Nabi terpercaya yang masih tersisa saat itu? Pertanyaan ini pantas diajukan karena melihat beberapa fakta yang seringkali terabaikan dalam analisis mengenai lahirnya Khawarij. Pertama, dalam beberapa khotbahnya yang ditujukan secara khusus kepada kelompok pembangkang tersebut, Ali secara eksplisit menyebut Khawarij pada awalnya termasuk di antara mereka yang mendukung diterimanya arbitrase. Fakta ini menunjukkan perubahan sikap Khawarij yang ekstrem dari pendukung gigih arbitrase menjadi penentang keras arbitrase. Apa yang tersembunyi di balik semua ini? Keduanya, adanya sosok misterius dan kontroversial Asyat bin Qais. Sosok ini tidak banyak disebutkan sekalipun berperan penting dalam menciptakan perpecahan di kubu Ali. Asyat-lat yang giat memprovokasi para pendukung Ali untuk menerima tawaran arbitrase. Upaya ini berhasil membelah kubu Ali menjadi dua kelompok: pendukung arbitrase dan penentangnya, sehingga melemahkan kekuatan Ali dan menguntungkan Muawiyah. Bagi para sejarahwan, Asyat lebih tampak sebagai agen Muawiyah yang disusupkan ke pihak Ali ketimbang sebagai pendukung Ali.
Dengan demikian bagi kita umat Muslim sudah seharusnyalah mewasdai aliran-aliran yang mengarah pada ajaran-ajaran Khawarij ini. Walaupun memang golongan ini sudah tidak ada lagi dalam sejarah namun ajaran-ajaranya dimungkinkan masih berkembang sehingga benteng keimanan dan ketaqwaan harus senantiasa kita tingkatkan.



BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa golongan Khawarij sebagai sebuah aliran telogi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju tehadap sikap Ali bin abi Thalib yang menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Adapun sekte-sekte aliran Khawarij diantaranya adalah: Al-Muhakkimah,  Al-Ajaridah, Al-Azriqah, As-Saalabiya, An-Nadjat,      Al-Abadiyah, Al-Baihasiyah,  dan As-Sufriyah. Mengenai doktrin ajarannya meliputi: Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam, khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab, khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat, khalifah sebelum Ali adalah sah tetapi setelah tahun ketujuh dari masa khalifahnya, utsman ra dianggap menyeleweng,  Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir, Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh, Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng, Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka), Amar ma’ruf nahyi munkar, Memalingkan ayat-ayat Al-quran yang tampak mutasabihat (samar), Al-Quran adalah makhluk, Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
Perkembangan khawarij semakin meluas dan terbagi menjadi dua golongan yang pertama bermarkas di sebuah negeri Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia yang dikepalai oleh Nafi bin azraq dan Qathar bin Faja’ah, dan golongan yang kedua bermuara di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di Yaman, Handharamaut, dan Thaif yang dikepalai oleh Abu Thalif, Najdah bin ‘Ami, dan abu Fudaika.

DAFTAR PUSTAKA


1.         Hamid, Syamsul rijal. 2002. Buku Pintar Agama Islam. Bogor: penebar salam.

2.         Ibid. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: UMM Press.

3.      Nasution, Harun. 1985. Teologi islam: Aliran sejarah analisa perbandingan. Jakarta: UI. Press.

4.        Rohison, Anwar dan Rozak, Abdul. 2006.  Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.

5.         Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihon. 2007.  Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.

6.         Sarkowi. 2010. Teologi Islam Klasik. Malang: Resist Literacy.

7.      Watt, montgomery W. 1987. Pemikiran Teologi Dan Filsafat Islam. Press: terjem. Umar besalim p3m. press.

8.    Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

9.     http://anwarbook,blogspot.com, Isi Tahkim Sayidina Ali dengan Muawiyah html, diakses tanggal 6 Januari 2014.



 Foot note



[1] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia. Hal 49.
[2] Harun nasution, teologi islam: aliran sejarah analisa perbandingan, UI press. Hal. 13.

[3] Sarkowi, teologi islam:  klasik, resist literacy, hal. 33.
[4] Ibid., hal. 3.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: dirasah Islamiyah II ( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 40.
[6] Abdul rozakdan rosihan anwar, ilmu kalam, cv pustaka setia, bandung 2001. Hal. 94.
[7] Samsul rijal hamid, Buku Pintar Agama Islam, 2002. Hal. 39.

[8]. http//www.google, Isi Tahkim Sayidina Ali dengan Muawiyah, diakses 6 Januari 2014.



Comments